Sabtu, 21 Juni 2008
tips
KEBERADAAN penyakit kusta atau lepra sangat ditakuti. Penyakit itu disebabkan bakteri Microbakterium leprae, juga dipicu gizi buruk. Tidak jarang penderitanya dikucilkan bahkan diusir.
Mendengar penyakit kusta atau lepra, mungkin yang terbayang adalah penyakit kutukan yang tidak bisa disembuhkan. Penderitanya pun harus diasingkan. Umumnya, paradigma tersebut masih kuat di masyarakat Indonesia.
Untuk mengubah pemikiran masyarakat tentang kusta, Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI) bersama Departemen Sosial RI dan Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata), menggelar talk show bertajuk, Jangan Ada Kusta di Antara Kita, diAula Gedung Departemen Sosial RI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, baru-baru ini. Acara tersebut diikuti oleh para mantan penderita kusta, masyarakat umum, mahasiswa dan petugas kesehatan.
Terungkap, Indonesia menduduki peringkat ketiga di tingkat internasional untuk penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil. Sedangkan dari 33 provinsi di Indonesia, Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan penderita kusta terbanyak, yaitu mencapai 5.068 penderita.
Penyakit yang bermula dari serangan bakteri yang bernama Microbakterium leprae tersebut, bisa dihilangkan asalkan masyarakat Indonesia tidak mengalami kekurangan gizi. Pasalnya, bakteri-bakteri kusta hanya akan menyerang orang-orang dengan gizi buruk. Dengan gizi yang kurang seimbang membuat daya tahan tubuh melemah.
"Kalau bayi kurang mendapat asupan gizi, secara otomatis kekebalan tubuhnya akan berkurang. Jadi jangan heran jika penyakit kusta banyak ditemukan di negara-negara berkembang," kata Wakil Direktur RS Kusta Sitanala Tangerang, Dr Handoko Soewarno.
Dokter yang telah lama mengabdi di rumah sakit kusta tersebut memaparkan, penyakit kusta di Indonesia kembali merebak sejak krisis ekonomi 1998 lalu.
Hal tersebut yang menyebabkan grafik penderita kusta di Indonesia dari tahun ke tahun selalu berubah-ubah. "Gejala awal kusta adalah munculnya bercak putih pada kulit. Bercak putih tersebut biasanya mati rasa, jadi kalau digores dengan ujung pulpen ataupun diusap dengan kapas tidak akan terasa," ujar Handoko.
Kusta termasuk penyakit menular dan memiliki masa inkubasi yang sangat panjang yaitu dua hingga 15 tahun. Namun, penularan bakteri kusta masih misterius dan belum banyak diketahui. "Cara kuman kusta masuk ke dalam tubuh setiap orang berbeda-beda. Hingga saat ini, peneliti masih belum menemukan cara penyebarannya. Dugaan paling banyak adalah penyebaran bakteri kusta terjadi lewat pernapasan ataupun lewat udara," tambahnya.
Di Indonesia setiap tahunnya tercatat ditemukan sekitar 20 ribu kasus baru untuk penderita kusta. Tren yang terjadi saat ini adalah penderita anak-anak. "Tahun 2008 ini lebih banyak anak-anak yang berusia 2-15 tahun yang datang ke rumah sakit kusta. Sekarang kita sedang merawat inap 100 pasien, sedangkan 800 lainnya pasien rawat jalan," tambah Handoko.
Penyakit yang menyerang kulit dan jaringan syaraf itu kini sudah disembuhkan dengan menggunakan obat bernama MDT (Multi Drugs Treatment). Obat itu wajib diminum oleh pasien setiap hari. "Sekarang obat itu telah tersedia di puskesmas dengan gratis. Satu kali minum obat itu, kita jamin bakteri-bakteri kusta langsung mati," jelasnya.
Hal ini diakui oleh salah seorang mantan penderita kusta yang kini aktif di Permata, Adi Yosep. Dia mengaku sembuh dan bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal, berkat ketelatenan mengonsumsi obat MDT. "Setelah sembuh, saya aktif di Yayasan. Sekarang kita sedang memperjuangkan anggaran dana untuk para penderita kusta," kata Yosep.
Hapus Diskriminasi Negatif
TIDAK mudah menjadi seseorang dengan predikat penyandang penyakit kusta atau lepra di Indonesia. Mereka sering kali mendapatkan perlakuan buruk di tengah masyarakat, seperti dikucilkan hingga diusir dari rumah sendiri.
Demikian juga orangorang yang telah dinyatakan terbebas dari bakteri kusta. Untuk mengubah paradigma negatif tentang para penderita kusta ataupun mantan penderita penyakit tersebut, Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI), Departemen Sosial RI dan Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata), menggelar acara kampanye Penghapusan Diskriminasi dan Stigma terhadap Penderita Kusta.
Dalam acara tersebut hadir pula tokoh-tokoh linta sagama, aktivis gerakan kemanusiaan, hingga artis yang peduli terhadap penderitaan para pengidap dan mantan penderita kusta di Indonesia.
"Kusta itu sekarang sudah bisa disembuhkan, obatnya pun telah tersedia di puskesmas di seluruh Indonesia. Kusta bukan lagi penyakit yang perlu ditakuti," kata Direktur Eksekutif YTLI, Nuah P Tarigan.
Dia menuturkan, tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat yaitu memberikan pengetahuan pada masyarakat kalau penderita dan mantan penderita kusta tidak perlu mendapatkan diskriminasi. Diskriminasi dan perlakuan yang tidak manusiawi sebagai seorang mantan penderita kusta juga dialami oleh Andi Amin. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, itu diusir dari rumahnya sendiri dan dipecat dari pekerjaannya di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yang sekarang bernama Bawasda.
"Itu tahun 1982, ketika kantor tahu saya menderita kusta, saya langsung dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaan saya. Saya juga digugurkan untuk pencalonan PNS," kata Amin. Untuk menghidupi dirinya, Amin terpaksa menjadi juru parkir di kota kelahirannya.
Penghasilan sehari-hari sebagai juru parkir itulah yang kemudian diandalkannya untuk hidup. "Saya berharap untuk masa yang akan datang, masyarakat kita lebih mengerti kalau penderita dan mantan penderita kusta juga manusia biasa," tuturnya.
Dengan kampanye penghapusan diskriminasi terhadap pengidap dan mantan penderita kusta, dia berharap tidak terjadi lagi diskriminasi di masa yang akan datang. "Walaupun rasanya sulit, tapi kalau terus diusahakan saya yakin masyarakat kita lama kelamaan akan mengerti,"
Mendengar penyakit kusta atau lepra, mungkin yang terbayang adalah penyakit kutukan yang tidak bisa disembuhkan. Penderitanya pun harus diasingkan. Umumnya, paradigma tersebut masih kuat di masyarakat Indonesia.
Untuk mengubah pemikiran masyarakat tentang kusta, Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI) bersama Departemen Sosial RI dan Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata), menggelar talk show bertajuk, Jangan Ada Kusta di Antara Kita, diAula Gedung Departemen Sosial RI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, baru-baru ini. Acara tersebut diikuti oleh para mantan penderita kusta, masyarakat umum, mahasiswa dan petugas kesehatan.
Terungkap, Indonesia menduduki peringkat ketiga di tingkat internasional untuk penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil. Sedangkan dari 33 provinsi di Indonesia, Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan penderita kusta terbanyak, yaitu mencapai 5.068 penderita.
Penyakit yang bermula dari serangan bakteri yang bernama Microbakterium leprae tersebut, bisa dihilangkan asalkan masyarakat Indonesia tidak mengalami kekurangan gizi. Pasalnya, bakteri-bakteri kusta hanya akan menyerang orang-orang dengan gizi buruk. Dengan gizi yang kurang seimbang membuat daya tahan tubuh melemah.
"Kalau bayi kurang mendapat asupan gizi, secara otomatis kekebalan tubuhnya akan berkurang. Jadi jangan heran jika penyakit kusta banyak ditemukan di negara-negara berkembang," kata Wakil Direktur RS Kusta Sitanala Tangerang, Dr Handoko Soewarno.
Dokter yang telah lama mengabdi di rumah sakit kusta tersebut memaparkan, penyakit kusta di Indonesia kembali merebak sejak krisis ekonomi 1998 lalu.
Hal tersebut yang menyebabkan grafik penderita kusta di Indonesia dari tahun ke tahun selalu berubah-ubah. "Gejala awal kusta adalah munculnya bercak putih pada kulit. Bercak putih tersebut biasanya mati rasa, jadi kalau digores dengan ujung pulpen ataupun diusap dengan kapas tidak akan terasa," ujar Handoko.
Kusta termasuk penyakit menular dan memiliki masa inkubasi yang sangat panjang yaitu dua hingga 15 tahun. Namun, penularan bakteri kusta masih misterius dan belum banyak diketahui. "Cara kuman kusta masuk ke dalam tubuh setiap orang berbeda-beda. Hingga saat ini, peneliti masih belum menemukan cara penyebarannya. Dugaan paling banyak adalah penyebaran bakteri kusta terjadi lewat pernapasan ataupun lewat udara," tambahnya.
Di Indonesia setiap tahunnya tercatat ditemukan sekitar 20 ribu kasus baru untuk penderita kusta. Tren yang terjadi saat ini adalah penderita anak-anak. "Tahun 2008 ini lebih banyak anak-anak yang berusia 2-15 tahun yang datang ke rumah sakit kusta. Sekarang kita sedang merawat inap 100 pasien, sedangkan 800 lainnya pasien rawat jalan," tambah Handoko.
Penyakit yang menyerang kulit dan jaringan syaraf itu kini sudah disembuhkan dengan menggunakan obat bernama MDT (Multi Drugs Treatment). Obat itu wajib diminum oleh pasien setiap hari. "Sekarang obat itu telah tersedia di puskesmas dengan gratis. Satu kali minum obat itu, kita jamin bakteri-bakteri kusta langsung mati," jelasnya.
Hal ini diakui oleh salah seorang mantan penderita kusta yang kini aktif di Permata, Adi Yosep. Dia mengaku sembuh dan bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal, berkat ketelatenan mengonsumsi obat MDT. "Setelah sembuh, saya aktif di Yayasan. Sekarang kita sedang memperjuangkan anggaran dana untuk para penderita kusta," kata Yosep.
Hapus Diskriminasi Negatif
TIDAK mudah menjadi seseorang dengan predikat penyandang penyakit kusta atau lepra di Indonesia. Mereka sering kali mendapatkan perlakuan buruk di tengah masyarakat, seperti dikucilkan hingga diusir dari rumah sendiri.
Demikian juga orangorang yang telah dinyatakan terbebas dari bakteri kusta. Untuk mengubah paradigma negatif tentang para penderita kusta ataupun mantan penderita penyakit tersebut, Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI), Departemen Sosial RI dan Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata), menggelar acara kampanye Penghapusan Diskriminasi dan Stigma terhadap Penderita Kusta.
Dalam acara tersebut hadir pula tokoh-tokoh linta sagama, aktivis gerakan kemanusiaan, hingga artis yang peduli terhadap penderitaan para pengidap dan mantan penderita kusta di Indonesia.
"Kusta itu sekarang sudah bisa disembuhkan, obatnya pun telah tersedia di puskesmas di seluruh Indonesia. Kusta bukan lagi penyakit yang perlu ditakuti," kata Direktur Eksekutif YTLI, Nuah P Tarigan.
Dia menuturkan, tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat yaitu memberikan pengetahuan pada masyarakat kalau penderita dan mantan penderita kusta tidak perlu mendapatkan diskriminasi. Diskriminasi dan perlakuan yang tidak manusiawi sebagai seorang mantan penderita kusta juga dialami oleh Andi Amin. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, itu diusir dari rumahnya sendiri dan dipecat dari pekerjaannya di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yang sekarang bernama Bawasda.
"Itu tahun 1982, ketika kantor tahu saya menderita kusta, saya langsung dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaan saya. Saya juga digugurkan untuk pencalonan PNS," kata Amin. Untuk menghidupi dirinya, Amin terpaksa menjadi juru parkir di kota kelahirannya.
Penghasilan sehari-hari sebagai juru parkir itulah yang kemudian diandalkannya untuk hidup. "Saya berharap untuk masa yang akan datang, masyarakat kita lebih mengerti kalau penderita dan mantan penderita kusta juga manusia biasa," tuturnya.
Dengan kampanye penghapusan diskriminasi terhadap pengidap dan mantan penderita kusta, dia berharap tidak terjadi lagi diskriminasi di masa yang akan datang. "Walaupun rasanya sulit, tapi kalau terus diusahakan saya yakin masyarakat kita lama kelamaan akan mengerti,"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar